BBM Satu Harga – Mengawal Energi Berkeadilan Oleh : Sampe L. Purba
Esensi Energi Berkeadilan adalah menyediakan energi secara merata dengan harga terjangkau, meningkatkan penerimaan negara, sekaligus memacu pertumbuhan dan ekonomi. BBM satu harga adalah salah satu diantaranya. Ini merupakan pewujud konkritan satu di antara program Nawacita Pak Presiden Jokowi - JK. Tantangan objektif secara operasional komersial dalam penyediaan BBM di Indonesia sangat kompleks. Apatah lagi untuk mewujudkan satu harga.
Setidaknya
ada tiga tantangan besar yang harus dihadapi Pemerintah dan Pertamina (yang
merupakan instrumen utama Korporasi penyediaan BBM di Indonesia). Pertama
adalah dari sisi supply (penyediaan).
Kebutuhan rata-rata BBM Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Statistik BPH Migas
mencatat, dalam tahun 2006 konsumsi BBM 61,478 juta kilo liter, sedangkan di
tahun 2017 meningkat menjadi 77,485 juta kilo liter atau ekuivalen sekitar 1,6
juta barel minyak mentah per hari. Peningkatan 25% dalam 10 tahun. Di sisi lain, kemampuan memproduksi minyak dan
mengolahnya terbatas. Produksi minyak mentah Indonesia saat ini berkisar di 800.000
barel per hari. Lapangan minyak Indonesia mayoritas adalah lapangan tua. Untuk mencapai angka itu dengan upaya keras
dan cerdas kita berhasil menekan penurunan laju alamiah 20% menjadi di bawah
5%, melalui pendalaman dan kerja ulang,
perawatan serta pengembangan sumur (work over, deepening and development well)
serta akselerasi produksi pada beberapa lapangan.
Kedua adalah
terbatasnya ruang fiskal yang tersedia. Asumsi dasar ekonomi makro pada APBN
tahun 2018 antara lain mematok liftings minyak 800.000 barel per hari, nilai
tukar Rp. 13.400 per dolar, subsidi BBM dan LPG rp. 46, 9 triliun, dengan alokasi
BBM bersubsidi jenis solar 15,62 juta kilo liter. Harga minyak mentah
menunjukkan trend kenaikan, dan saat
ini sudah di kisaran 70 dolar/ barel. Demikian juga kurs dolar yang menguat
global termasuk terhadap rupiah, memberikan double
impact yang berat.
Ketiga adalah tantangan transportasi, penyimpanan
dan distribusi. Penduduk Indonesia mendiami lebih dari 6.000 pulau dengan tingkat persebaran yang
tidak sama, medan transportasi yang sulit menjangkau beberapa daerah pedalaman,
serta fasilitas penyimpanan dan depo yang tidak merata. Kalau menggunakan
perhitungan keekonomian, jelas tidak akan mampu untuk menutup biaya menghantar
minyak ke daerah terpencil dengan volume penyerapan yang kecil.
Total kapasitas penyimpanan BBM di Indonesia saat ini sebesar 7.500.000 kilo liter. Sekitar 80 % kapasitas tersebut merupakan milik Pertamina, sisanya pihak swasta. Sekitar 65% dari kapasitas tersebut terpusat di pulau Jawa dan Bali, dengan porsi penguasaan Pertamina sekitar 60%. Fakta ini menunjukkan bahwa pihak swasta hanya tertarik di daerah pemasaran yang gemuk, sementara storage Pertamina sendiripun terpusat di Jawa juga.
Dihadapkan pada akumulasi
situasi demikian, Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
beserta dengan Kementerian BUMN dituntut untuk lebih cekatan dan jernih dalam
mengambil kebijakan, yang memberikan dampak tidak saja bersifat ad hoc jangka pendek tetapi hendaknya
substansial dan fundamental. Kita melihat Pemerintah telah on the right track.
Di sisi hulu
Pemerintah telah memberikan beberapa wilayah kerja terminasi ke Pertamina.
Diproyeksikan porsi kontribusi Pertamina terhadap produksi migas nasional akan
meningkat dari 23% di tahun 2017 ke sekitar 39% di tahun 2020. Hal ini
merupakan cara Pemerintah untuk mengkompensasi beban dan penugasan yang
diberikan ke Pertamina untuk mendukung kebijakan BBM satu harga. Bagaimana dengan wilayah kerja migas lainnya
?. Sejumlah 22 wilayah kerja migas yang
berkontribusi sekitar 35% produksi
nasional akan berakhir dalam 5 tahun ke depan termasuk grup perusahaan majors seperti Chevron Pacific Indonesia
dan ConocoPhillips.
Perusahaan
perusahaan itu akan tetap diberi kesempatan untuk bekerja melanjutkan
operasinya. Berbagai skema dan pilihan ada pada Pemerintah. Misalnya,
melanjutkan kerja sama dengan terms
yang lebih baik ke Pemerintah, Kerja Sama Operasi dengan Perusahaan Negara atau
Nasional baik secara langsung/ joint operation atau dengan kepemilikan shares
(interest). Perusahaan perusahaan eksisting tetap diperlukan sebagai simbol
kepercayaan kehadiran investor global di Indonesia, dan juga untuk transfer
teknologi, profesionalitas dan manajemen resiko portofolio. Sebagai harga
(value) dari prospek cadangan migas, infrastruktur yang telah terbangun dan knowhow , wajar apabila kepada
Perusahaan asing yang masih akan diberikan kesempatan untuk melanjutkan
kontrak, dibebankan kompensasi pembayaran yang signifikan (biasa dikenal dengan
nama signature bonus). Pemerintah
dapat memanfaatkan dana tersebut untuk membangun infrastruktur guna penguatan
ketahanan energi, termasuk di sisi hilir. Pilihan lain yang tersedia adalah
dengan mewajibkan Perusahaan perusahaan itu untuk bertukar (swap) lapangan produksi migasnya di luar
Negeri kepada Pemerintah melalui Pertamina atau Badan Usaha Milik Negara
lainnya. Ini akan menghemat devisa sekaligus memperkuat portofolio kepemilikan
cadangan migas Pertamina yang pada akhirnya memperkuat ketahanan energi. Penguatan badan usaha milik negara adalah juga
bagian dari nawacita Presiden.
Membangun kilang
minyak domestik itu mahal. Tingkat pengembalian modal dan marginnya kecil.
Serta juga memerlukan feedstock minyak
mentah yang stabil dari sisi pasokan maupun harga.
Berdasarkan road map infrastruktur kilang minyak bumi, Pemerintah mentargetkan peningkatan kapasitas pengolahan kilang dengan membangun beberapa kilang baru dengan kapasitas 456 MBCD, dan pengembangan kilang eksisting dengan kapasitas 438 mbcd. Itu menelan biaya yang mahal. Sebagai gambaran, Proyek Peningkatan kapasitas dan kompleksitas (Refinery Development Master Plan/ RDMP Kilang Minyak Cilacap misalnya. Proyek tersebut menurut pemberitaan diperkirakan menelan biaya sekitar $ 5 - $ 6 milyar, hanya untuk meningkatkan kapasitas dari 348.000 barel per hari menjadi 400.000 barel.
Di sisi hilir, pangsa pasar
Indonesia yang besar dapat menjadi posisi tawar yang kuat. Saat ini Pertamina
mengimpor sekitar 250 ribu barel minyak mentah per hari, disamping impor bensin
9 juta barel per bulan dan 1 juta barel per bulan untuk avtur. Sekiranya ada
kebijakan yang holistik, integral dan terpadu, Pemerintah dapat mengundang
mitra asing untuk membangun kilang, storage
dan jaringan distribusi di Indonesia, berkongsi dengan BUMN atau Pertamina.
Imbalannya adalah pasar yang terbuka. Mudah-mudahan akselerasi program BBM satu
harga akan terwujud secara sustainabel. Selama periode pembangunan, insentif
perpajakan dan bea masuk dapat diberikan. Perlindungan hukum dalam bingkai
hukum korporasi, juga mutlak diberikan ke Pertamina dan BUMN sebagai
konsekuensi dan lanjutan dari penugasan tersebut.
Posisi tawar
Pemerintah sesungguhnya sangat kuat. Baik di sisi hulu terhadap kebijakan
wilayah kerja yang akan berakhir, maupun penguatan struktur pasar dan
infrastruktur di sisi hilir. Ini bukan soal nasionalisasi. Tetapi adalah
Nasionalisme. Itulah esensi dan substansi energi berkeadilan.
Jakarta, Mei 2018
Penulis –
Praktisi Profesional – Aktif di Komunitas Energi - Moderator Kelompok Bidang Keahlian (KBK) Migas Indonesia
Comments