Subsidi Energi Langsung by Roes Aryawijaya, Bagian 2
Pengelolaan sektor migas dan kelistrikan
Penglolaan migas dan kelistrikan oleh pemerintah yang dilakukan hampir selama sepuluh tahun dalam perioda tahun 2004 sampai dengan tahun 2013 dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Pengelolaan di sektor migas dapat digambarkan melalui dua tolok ukur sebagai berikut:
Tolok ukur pertama; “neraca keuangan sektor migas”, selama perioda sepuluh tahun (2004 s/d 2013) semakin defisit dimana pada tahun 2004 sudah Rp.13,0 triliun atau 11% dari penerimaannya dan terus membengkak menjadi sebesar Rp. 217,5 triliun atau 67% pada tahun 2013 berarti belanja atau pengeluaran (pembiayaan) pengelolaan migas sudah lebih besar dari penerimaannya bahkan sudah mulai menggerus pendapatan negara dari sektor lain diantaranya adalah dari sektor pajak (lihat grafik-1).
Sumber data: Grafik-1
- APBN, KemKeU
- Laporan Tahunan 2012, BP Migas
- Energy short term outlook, US Energy International Administration 2012
Tolok ukur kedua; selama perioda yang sama “selisih antara produksi dan konsumsi minyak bumi” semakin besar yaitu dari 0,18 juta bbl per hari pada tahun 2004 atau 16% dari produksi minyak bumi (1,10 juta bbl/hari) pada tahun yang sama kemudian meningkat menjadi 0,74 juta bbl/hari pada tahun 2013 atau 84% dari produksi minyak bumi(0,88 juta bbl/hari) pada tahun tersebut. Konsumsi minyak bumi terus meningkat dari 1,28 Juta bbl/hari pada tahun 2004 menjadi 1,62 Juta bbl/hari pada tahun 2013, sementara produksi minyak bumi terus menurun dari 1,10 juta bbl/hari pada tahun 2004 menjadi 0,88 juta bbl/hari pada tahun 2013, menyebabkan sejak tahun 2004 negara Indonesia yang dulunya merupakan negara “net exporter”
berubah menjadi negara “net importer” minyak bum (lihat grafik-2).
Sumber data: Grafik 2
- BP Statistical review of world energy 2014
- Data ICP, Kem ESDM
Berdasarkan gambaran dari kedua tolok ukur tersebut diatas ternyata kondisi pengelolaan sektor migas Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan bahkan dapat juga disebut sudah memasuki tahap kritis dan berstatus “high risk”. Oleh karena itu Pemerintah perlu segera melakukan penataan ulang peraturan dan kebijakan pemerintahan dalam pengelolaan migas di Indonesia supaya menjadi lebih baik, berkeadilan, transparan, akuntabel dan aplikabel serta sekaligus dapat menurunkan tingkat risiko status pengelolaan migas Indonesia dari posisi “high risk” menjadi posisi “medium risk”
menyamai tingkat risiko pengelolaan migas Malaysia sebagai negara tetangga kita yang telah berhasil menemukan suatu prospek migas Kikeh dengan cadangan sekitar 1 miliar setara barrel minyak atau “barrel oil equivalent (BOE)” di lokasi lepas pantai atau “offshore”.
2. Pengelolaan di sektor kelistrikan yang mencakup pembangkit listrik, jaringan transmisi dan distribusi listrik juga memiliki dua tolok ukur, yaitu:
Tolok ukur pertama, kehandalan sistim kelistrikan selama perioda yang sama semakin menurun. Walaupun pada tahun 2013 pengembangan kapasitas terpasang pembangkit listrik meningkat mencapai 45.450 MW atau 172 % dari kapasitas terpasang sebesar 26.424 MW pada tahun 2004, namun rasio kapasitas operasi terhadap kapasitas terpasang pembangkit listrik terus menurun dari 85% pada tahun 2004 menjadi 63% pada tahun 2013 (lihat garfik-3).
Sumber data: Grafik-3
- PT. PLN (Persero)
Tolok ukur kedua yaitu biaya minyak solar per kwh selama perioda yang sama terus meningkat mencapai Rp. 579,3/Kwh pada tahun 2013 atau 365% dari biaya minyak solar sebesar Rp.158,5/Kwh pada tahun 2004. Hal ini disebabkanoleh peningkatan kapasitas PLTD yang mencapai 6.084 MW pada tahun 2013 atau meningkat sebesar 203% dari kapasitas PLTD sebesar 2.994 MW pada tahun 2004 (lihat grafik-4). Hal ini menunjukkan upaya efisiensi dan efektifitas masih belum tercapai.
.
Sumber data: Grafik-4
- PT. PLN (Persero)
Berdasarkan gambaran dari kedua tolok ukur tersebut diatas pengelolaan di sektor kelistrikan menunjukkan kehandalan sistim kelistrikan secara nasional belum efisien dan efektif
Oleh karena itu untuk waktu yang akan datang dalam merencanakan pengembangan kilang minyak mentah di dalam negeri maupun sistim kelistrikan secara nasional, Pemerintah harus menentukan langkah dan arah kebijaksanaannya berdasarkan prinsip kehati-hatian dan dikaji ulang secara “international good engineering practice”. Perencanaan dilakukan berdasarkan hasil audit teknologi baik terhadap kehandalan sistim pengolahan minyak mentah oleh kilang minyak dalam negeri maupun sistim kelistrikan nasional dan berdasarkan hasil audit investigasi kebutuhan volume BBM dan kebutuhan listrik dari aspek konsumen (“demand side aspect”) sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Untuk menghindari kemungkinan terjadinya penyimpangan administrasi dan konflik kepentingan tertentu serta hasilnya lebih transparan dan terukur sebaiknya kedua jenis audit tersebut perlu dilakukan oleh “Bankable International Appropriate Authority Body” yang ditunjuk oleh Kementrian ESDM melalui tender/lelang terbuka secara internasional.
Pelaksanaan subsidi energi
1. Perkembangan biaya subsidi energi
Selama jangka waktu sepuluh tahun (2004 s/d 2013), biaya subsidi energi meningkat sangat cepat bahkan sudah mengikuti fungsi hiperbola dimana dari Rp. 69 triliun pada tahun 2004 mencapai sebesar Rp. 348 triliun,- pada tahun 2013 atau 21 % dari total biaya APBN sebesar Rp. 1.658 triliun,- pada tahun tersebut. Mengingat perkembangan biaya subsidi energi yang sangat cepat meningkat dan menjadi beban biaya dalam Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara (APBN) maka pemerintah harus memberikan perhatian secara khusus dan segera mengevaluasi pelaksanaan subsidi energi secara rinci dengan prinsip kehati-hatian atau “prudent principle” mengapa pelaksanaan subsidi harga energi berkembang sedemikian cepat dan membuat defisit neraca keuangan dari sektor migas (lihat grafik-5).
Sumber data:
|
Grafik-5
| |
|
Gambaran pelaksanaan subsidi harga energi selama sepuluh tahun (2004 s/d 2013) ternyata hasilnya tidak tepat sasaran karena ternyata justru lapisan rakyat menengah dan kaya termasuk didalamnya pelaku bisnis dan industri yang mendapatkan manfaat dan kenikmatan yang lebih besar dari lapisan rakyat kecil dan miskin. Berdasarkan olahan data aktual selama perioda tersebut diatas besarnya manfaat dan kenikmatan tersebut dapat diperkirakan sebagai berikut:
Berdasarkan data pelaksanaan subsidi BBM tahun 2004 s/d 2013, ternyata sekitar 87% dari biaya subsidi harga BBM atau rata-rata per tahun sebesar Rp. 105 triliun,- dimanfaatkan dan dinikmati oleh masyarakat golongan menengah keatas dan para pelaku bisnis dan industri. Sementera manfaat dan kenikmatan yang diterima lapisan rakyat kecil dan miskin rata-rata per tahun hanya sebesar Rp. 15 triliun,- atau 13% dari biaya subsidi harga BBM.
Pelaksanaan subsidi listrik juga memperlihatkan ternyata manfaat dan kenikmatan lapisan rakyat menengah dan kaya termasuk para pelaku bisnis dan industri tersebut rata-rata per tahun mencapai Rp. 42 triliun,- atau sekitar 75% dari biaya subsidi harga listrik. Sementara yang dinikmati lapisan rakyat kecil dan miskin rata-rata per tahun hanya sebesar Rp. 14 triliun,- atau 25% dari biaya subsidi harga listrik.
2. Kondisi pelaku subsidi energi
Untuk menentukan langkah-langkah perbaikan dalam pelaksanaan subsidi energi marilah kita melihat gambaran dari kondisi kedua pelaku yang diberi tugas oleh pemerintah untuk melakukan tugas bagi kepentingan publik atau “public service obligation/PSO”, yaitu PT. Pertamina (Persero) sebagai pelaku subsidi BBM dan PT. PLN (Persero) sebagai pelaku subsidi listrik, sebagai berikut:
a) PT Pertamina (Persero)
- Secara Teknis
Dalam kegiatan hulu, berdasarkan produksi minyak dan gas bumi yang dihasilkan PT. Pertamina (Persero) tidak memperlihatkan pengelolaan yang efisien dan efektif. Produksi minyak bumi dan gas bumi terus menurun karena hanya bertumpu pada lapangan produksi yang sudah ada yang berproduksi secara “natural flowing/primary” dan belum melakukan upaya enchance oil recovery (EOR). Dilain pihak penemuan lapangan produksi berskala besar masih belum diketemukan karena minimnya kegiatan eksplorasi. Sedangkan dalam kegiatan hilir yang mencakup kegiatan pengoperasian kilang, transportasi dan distribusi BBM memperlihatkan kemampuan produksi BBM dari kilang minyak di dalam negeri terus menurun dari 40,54 juta KL pada tahun 2004 (66% dari kapasitas kilang sebesar 61.34 juta KL) menjadi 36,20 juta KL pada tahun 2013 (58% dari kapasitas kilang sebesar
62,21 juta KL), kondisi ini menunjukkantidak
efisiensi dan tidak efektifnya pengoperasian kilang minyak oleh PT. Pertamina (Persero) (lihat grafik-6)
efisiensi dan tidak efektifnya pengoperasian kilang minyak oleh PT. Pertamina (Persero) (lihat grafik-6)
Sumber data: Grafik-6
- Realisasi Laporan RKAP dan Laporan Keuangan Audited PT. Pertamina (Persero) 2004-2013
- BP Statistical Review of World Energy 2014
Disisi lain, volume impor minyak mentah maupun BBM terus meningkat dalam hal ini volume BBM impor sudah mencapai 46,83 juta kilo liter (juta KL) pada tahun 2013 atau 121% dari volume impor BBM tahun 2004 sebesar 38,75 juta KL (lihat grafik-7). Selain itu sering terjadi kebocoran pada pipa transmisi dan distribusi BBM yang menimbulkan kelangkaan BBM dibeberapa SPBU terutama diluar pulau Jawa.
Sumber data:
|
Grafik-7
|
- Secara Keuangan
Berdasarkan beberapa parameter keuangan sesuai dengan laporan keuangan yang sudah audit oleh konsultan akuntansi publik (KAP) yang “independence” ternyata kondisi keuangan perusahaan belum optimal, yaitu:
Biaya pokok penjualan atau “Costs of good sold (Cogs)” yang menurut norma akuntansi nasional disebut juga sebagai harga pokok penjualan terhadap pendapatan bernilai sebesar 90 % yang berarti masih diatas rata-rata nilai Cogs dunia yaitu sebesar 86 % (sesuai data dari New York University (NYU) Stern School of Business, January 2014). Ini menunjukkan bahwa pengelolaan bisnis perusahaan belum cukup efisien dan efektif (lihat grafik-8).
Laba perusahaan yang terdiri dari laba usaha dan laba bersih cenderung meningkat, namun rasio laba bersih terhadap laba usaha cenderung menurun dari 71% menjadi 44%, hal ini menunjukkan pengelolaan keuangan perusahaan belum opimal. Karena nilai nominalnya mencapai triliunan rupiah, maka diperlukan kajian yang cermat dan teliti oleh instasi yang berwenang (KPK bersama PPATK) (lihat grafik-9).
Comments