Subsidi Energi Langsung by Roes Aryawijaya, Bagian 1
Kata Pengantar
Dimulai dengan kata Bismillaahirrohmaanirrohiim, penulis mengucapkan Alhamdulillaah dengan selesainya penulisan buku kedua ini.Pertama penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Allah SWT yang telah memberikan bimbingan dan petunjuknya, kedua kepada isteri penulis Tetty Endang Irawati yang selalu membantu dan melakukan perbaikan-perbaikan kalimat serta kepada anank-anak dan menantu-menantu serta cucu yang selalu mendorong penulis untuk menyelesaikan buku ini.
Akhir kata penulis mengucapkan kepada para pembaca selamat membaca dan semoga bermanfaat serta dapat lebih mengetahui pelaksanaan subsidi energi selama ini. Terima kasih.
Daftar Isi
Daftar Isi
Kata Pengantar
Pendahuluan
Pengelolaan sektor migas dan kelistrikan
Pelaksanaan subsidi energi
- Perkembangan biaya subsidi energi
- Kondisi pelaku subsidi energi
- Penyimpangan yang terjadi
Usulan solusi perbaikannya
- Upaya terobosan yang harus dilakukan
- Langkah konkrit yang harus dilakukan
- Aspek peraturan dan kebijakan
- Aspek Teknis
- Aspek Keuangan
- Aspek Sosial
C. Hipotesa perhitungan biaya subsidi energi
secara langsung
Daftar bacaan
Riwayat hidup penulis
Pendahuluan
Kebijaksanaan pelaksanaan subsidi energi oleh pemerintah dilakukan melalui dua BUMN yaitu PT. Pertamina (Persero) sebagai pelaku subsidi harga BBM dan PT. PLN (Persero) sebagai pelaku subsidi harga listrik. Kedua perusahaan ini diberi tugas oleh pemerintah untuk melaksanakan tanggung jawab pelayanan publik atau “public service obligation (PSO)” sesuai peraturan perundangan. Adapun maksud dilakukannya subsidi energi yang terdiri dari subsidi BBM (Bahan Bakar Minyak) dan subsidi listrik ini adalah sebagai salah satu upaya ketahanan energi nasional yang bertujuan untuk melindungi dan memenuhi kebutuhan energi didalam negeri khususnya bagi keperluan lapisan rakyat kecil dan miskin saja.
Selama periode sepuluh tahun (2004 s/d 2013) konsumsi energi Indonesia menunjukkan peningkatan rata-rata 7-8% setiap tahunnya. Kondisi ini menuntut peningkatan infrastruktur energi yang baik sehingga ketersediaan energi untuk mendukung aktivitas perekonomian dan dinamika sosial masyarakat dapat terpenuhi. Namun masih terdapat berbagai tantangan dan hambatan untuk memenuhi kebutuhan energi tersebut diantaranya produksi minyak bumi yang cenderung menurun, pengoperasian kilang minyak yang belum efisien, keterbatasan pasokan gas bumi
untuk kebutuhan sektor industri dan pengelolaan sistim kelistrikan yang belum optimal. Kondisi seperti ini dapat mengurangi minat investor untuk melakukan investasi dan akan berdampak negative dalam perluasan lapangan kerja, peningkatan pendapatan negara, pengurangan jumlah penduduk miskin yang pada akhirnya akan menghambat pertumbuhan ekonomi nasional. Sementara itu percepatan pengembangan energi baru terbarukan (EBT) yang diharapkan dapat menjadi tulang punggung baru energi nasional masih belum maksimal.
Selanjutnya dengan pertimbangan kondisi di sektor energi seperti tersebut diatas, maka semua upaya untuk mewujudkan ketahanan energi harus menjadi agenda prioritas bagi Indonesia. Bukan hanya pasokan energi fosil yang harus ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya namun juga energi baru terbarukan yang sumber dayanya cukup melimpah dan beragam di seluruh Indonesia diantaranya tenaga air dengan potensi 75 ribu MW, panas bumi sebesar 29 ribu MW, tenaga surya, tenaga angin dan biofuel.
Walaupun didalam perekonomian nasional, sektor energi masih mempunyai peran yang sangat strategis karena masih merupakan salah satu kontributor terbesar terhadap penerimaan negara, namun berkaitan dengan tugasnya sebagai penjamin adanya energi, mengakibatkan adanya konsekuensi biaya
dalam alokasi anggaran negara yaitu dalam bentuk subsidi harga energi baik untuk subsidi harga BBM maupun subsidi harga listrik. Pada tahun 2013 biaya subsidi harga energi yang meliputi subsidi harga BBM dan subsidi harga listrik sudah mencapai Rp 348 triliun,- atau 106 % dari penerimaan sektor migas sebesar Rp. 327 triliun yang berarti neraca keuangan dari sektor migas sudah defisit dan telah menggerus pendapatan Negara dari sektor lainnya misalnya sektor penerimaan dari pajak. Berarti sudah tidak ada lagi penerimaan dari sektor energi yang dapat digunakan untuk peningkatan kehandalan infrastruktur energi.
Realisasi pelaksanaan subsidi harga energi selama periode sepuluh tahun sejak tahun 2004 mencapai nilai sebesar Rp. 348 triliun pada tahun 2013 yang terdiri dari biaya subsidi harga BBM sebesar Rp. 247 triliun yaitu setara dengan impor volume BBM untuk keperluan subsidi sebesar 46,83 Juta kilo liter dan biaya subsidi harga listrik sebesar Rp. 101 triliun namun ternyata hasilnya tidak tepat sasaran. Pelaksanaan subsidi harga energi semula ditujukan hanya untuk menjamin kebutuhan energi bagi lapisan rakyat kecil dan miskin saja, ternyata justru sebagian besar dinikmati oleh lapisan rakyat menengah, kaya, pelaku bisnis dan industri. Faktor utama terjadinya kenaikan biaya subsidi harga energi secara cepat dan
tajam adalah disebabkan adanya disparitas harga BBM bersubsidi dan harga BBM non-subsidi sehingga menimbulkan masalah korupsi, pengoplosan dan penyelundupan BBM yang berdampak pada besaran volume BBM bersubsidi. Selain dari pada itu, baik besaran subsidi harga BBM maupun subsidi harga listrik yang keduanya bukan hanya mencakup untuk lapisan rakyat kecil dan miskin saja melainkan termasuk juga lapisan rakyat menengah, kaya bahkan termasuk pelaku bisnis maupun industri, keduanya tidak ditetapkan secara professional melainkan berdasarkan perkembangan suatu seri data waktu (“data time series”) melalui persetujuan bersama dengan DPR yang mengakibatkan penetapan kedua subsidi harga tersebut lebih dipengaruhi pertimbangan politik dari pada pertimbangan professional. Disamping itu biaya kedua subsidi harga tersebut yang bersumber dari APBN langsung diberikan kepada kedua BUMN pelaku subsidi energi.
Untuk mengatasi masalah ini sangat diperlukan pemikiran-pemikiran diluar pakem dan keberanian serta tindakan-tindakan diluar kebiasaan yang dilakukan selama ini yang berupa suatu terobosan atau disebut berpikir secara “out of the box” yaitu melakukan suatu upaya reformasi total terhadap berbagai kebijakan energi di sektor ESDM seperti: kebijakan subsidi harga energi menjadi subsidi energi
hanya untuk minyak tanah (mitan) dan solar saja secara langsung kepada lapisan rakyat kecil dan miskin, penentuan volume BBM bersubsidi dan Tarif Tenaga Listrik (TTL), kebijakan penghematan energi, dan pembatasan ekspor bahan mentah serta kebijakan pembatasan ekspor batubara harus dilakukan secara professional, jelas dan terukur agar tingkat perekonomian nasional menjadi lebih meningkat lagi.
Berdasarkan semangat pembaharuan dan dengan selalu mengacu pada prinsip kehati-hatian dalam mengutamakan program kerja yang pro rakyat kecil dan miskin dapat dipertimbangkan suatu program peningkatan daya beli lapisan rakyat kecil dan miskin melalui suatu perubahan sistim subsidi energi dari subsidi harga menjadi subsidi langsung untuk jenis minyak tanah (mitan) dan solar yang ditujukan hanya kepada lapisan rakyat kecil dan miskin saja, sedangkan subsidi harga premium dicabut sehingga dapat dilakukan realokasi biaya subsidi energi ke sektor yang lebih dibutuhkan oleh lapisan rakyat kecil dan miskin antara lain sektor kesehatan, pendidikan dan bantuan sosial.
Melalui suatu hipotesa perhitungan dengan memakai model laporan keuangan yang telah diaudit tahun 2013, dalam rangka peningkatan daya beli lapisan rakyat kecil dan miskin diperoleh besaran subsidi
energi hanya untuk mitan dan solar saja secara langsung bagi 60 juta orang lapisan rakyat kecil dan miskin tanpa kenaikkan harga mitan dan solar(masih tetap Rp. 3.000/ltr dan Rp. 5.500/ltr) adalah Rp. 221 triliun,-atau sebesar Rp. 307.000/orang/bulan, apabila ada kenaikkan harga mitan dan solar(naik menjadi Rp. 7.500/ltr dan Rp. 10.000/ltr) biaya subsidi turun menjadi Rp. 123 triliun,- atau sebesar Rp. 171.000/orang/bulan. Sedangkan melalui subsidi harga energi biayanya hanya mencapai sekitar Rp. 45 triliun,- (13% dari total subsidi harga energi sebesar Rp. 348 triliun pada tahun 2013) atau Rp. 62.500/orang/bulan. Terjadi peningkatan daya beli lapisan rakyat kecil dan miskin berkisar hampir 3 s/d 5 kali dibandingkan dengan pelaksanaan subsidi energi melalui subsidi harga.
Pelaksanaaan subsidi energi secara langsung kepada lapisan rakyat kecil dan miskin menjadi tanggung jawab pemerintah yang dalam hal ini dimotori oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama Kementerian BUMN, Kementerian Dalam Negeri,KementerianPerhubungan, Kementerian Peridustrian, Kementerian Keuangan dan Kementerian terkait lainnya dengan suatu koordinasi yang kuat dan solid dibawah koordinasi Kementerian Koordinator Perekonomian.
Comments