Menyingkap tabir Pengelolaan Migas Indonesia Roes Aryawidjaya, Bagian 3
B. Kegiatan Hilir migas;
Ilustrasi Kegiatan Migas
Parameter pokok pengelolaan migas Indonesia tentang kegiatan hilir migas adalah besaran biaya BBM atau “cost BBM” yang sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah dalam pelaksanaan subsidi energi. Pelaksanaan subsidi energi yang terdiri dari subsidi BBM dan subsidi listrik yang semula dilakukan dengan cara subsidi langsung kepada lapisan rakyat kecil kemudian dirubah menjadi dengan cara subsidi harga menjadi kurang tepat sasaran karena semua lapisan rakyat termasuk rakyat menengah dan kaya mendapat subsidi energi yang seharusnya tidak perlu mendapatkannya.
Akibat pelaksanaan kebijakan subsidi energi yang kurang tepat sasaran, menyebabkan impor volume BBM bertambah sehingga peningkatan biaya subsidi energi meroket naik sangat cepat, dan akhirnya “cost BBM” sebagai parameter pokok kegiatan hilir migas meningkat dengan pesat pula.
Selain itu, pelaksanaan kebijakan subsidi energi yang kurang tepat sasaran juga akan membuat peluang terjadinya korupsi, pengoplosan dan penyelundupan BBM akibat disparitas yang besar dari harga BBM, contohnya selisih harga beli terhadap harga jual baik untuk premium maupun solar yang dilakukan oleh pemerintah semakin melebar yaitu masing-masing sebesar Rp. 1.614 per liter dan Rp. 2.614 per liter pada tahun 2013 (perhitungan disparitas harga BBM berdasarkan harga beli premium dan solar untuk subsidi energi masing-masing sebesar Rp. 8.114 per liter dan Rp. 8.114 per liter terhadap harga jualnya masing-masing sebesar Rp. 6.500 per liter dan Rp. 5.500 per liter).
Demikian pula, proses pembelian BBM untuk memenuhi kebutuhan subsidi energi oleh pemerintah tidak efisien dan tidak transparan. Sebagai contoh, pada tahun 2013 harga jual premium rata-rata di SPBU untuk negara Amerika (USA) dan Singapore masing-masing sebesar Rp. 11.293 per liter dan Rp. 17.698 per liter, sedangkan untuk Indonesia dipakai harga beli premium rata-rata sebesar Rp. 8.114 per liter.
Mengapa untuk Indonesia digunakan harga beli premium bukan harga jual premium di SPBU karena harga jual premium merupakan harga yang ditetapkan oleh pemerintah dalam rangka pelaksanaan kebijakan subsidi energi jadi tidak menggambarkan besaran harga jual premium sebenarnya.
Walaupun harga beli premium di SPBU Indonesia lebih rendah dibandingkan harga jual premium di SPBU USA dan Singapore, namun perbandingan ini bukan menunjukkan suatu perbandingan yang adil dan setara.
Supaya perbandingan harga BBM dilakukan secara adil dan setara atau biasa disebut dengan “apple to apple comparison” maka digunakan tolok ukur yang berlaku sama bagi negara USA, Singapore dan Indonesia yaitu biaya pengadaan BBM.
Sebelum melakukan perbandingan tersebut perlu diketahui komponen harga premium bagi masing-masing negara seperti terlihat pada grafik-7 dibawah ini, yaitu:
Sumber data olahan dari: Grafik-7
- Realisasi APBN
- Laporan Keuangan Audited PT.Pertamina (Persero) 2005- 2013
- US Energy International Administration 2013
- Yearbook of Statistics Singapore 2007-2013
Komponen harga premium di USA terdiri dari biaya oil atau biaya pembelian minyak mentah di pintu kilang minyak, biaya kilang, biaya distribusi, pajak dan pemasaran terhadap harga premium masing-masing sebesara 60%, 13%, 17% dan 10%.
Komponen harga premium di Singapore terdiri dari biaya oil atau biaya pembelian minyak mentah di pintu kilang minyak, biaya kilang, pajak dan biaya distribusi dan pemasaran terhadap harga premium masing-masing sebesar 28%, 8%, 55% dan 9%.
Komponen harga premium impor di Indonesia terdiri dari biaya pembelian premium, biaya transportasi dan distribusi dan pajak terhadap harga premium masing-masing sebesar 82%, 8% dan 10%.
Untuk melakukan perbandingan secara adil dan setara dipilih sebagai contoh BBM jenis premium yang umumnya untuk keperluan lapisan rakyat menengah dan kaya yang selain hidup berkecukupan mungkin juga mempunyai usaha bisnis ataupun industri. Ternyata untuk pelaksanaan kebijakan subsidi energi, besaran biaya pengadaan premium Indonesia hanya 10% lebih murah dari USA, tetapi 29% lebih mahal dari Singapore. Hal ini perlu mendapat perhatian secara kkusus dan harus dikaji lebih dalam lagi.
Perbandingan diatas dilakukan berdasarkan perhitungan biaya pengadaan premium untuk USA dan Singapore yang terdiri dari pembelian minyak mentah ditambah biaya kilang masing-masing sebesar Rp. 8.271 per liter dan Rp. 5.262 per liter, sedangkan untuk Indonesia biaya pengadaan premium terdiri dari biaya pembelian premium (Mid Oil Platt’s Singapore atau MOPS) ditambah biaya transportasi sebesar Alpha (%) x MOPS adalah sebesar Rp. 7.429 per liter.
Supaya para pembaca dapat lebih mengetahui rangkaian kegiatan dalam pengadaan BBM untuk memenuhi seluruh kebutuhan BBM di dalam negeri, penulis memberikan suatu ilustrasi sebagai berikut:
Pelaksanaan pengelolalaan kegiatan hilir migas seperti diatas memberikan pengaruh negative dan berdampak pada beberapa hal sebagai berikut:
Kondisi kilang minyak di dalam negeri beroperasi secara tidak efisien. Hal ini ditunjukkan pada besaran produk BBM dari kilang minyak yang semakin berkurang jauh dibawah kapasitas kilang. Selain pengaruh pelaksanaan kebijakan subsidi energi, kondisi kilang minyak seperti ini dapat juga diakibatkan karena kurangnya volume minyak mentah sebagai “crude intake” kilang yang sesuai dengan spesifikasi disain kilangnya.
Untuk mengatasi hal ini, pemerintah melakukan impor minyak mentah untuk dapat dicampur dengan minyak mentah Indonesia yang disebut “crude oil cocktail” sehingga spesifikasi jenis minyak mentahnya mendekati atau sesuai dengan spesifikasi minyak mentah yang dipersyaratkan dalam disain kilang agar dapat dihasilkan produk BBM secara optimal.
Namun upaya ini masih belum dapat berhasil dengan baik, sehingga masih diperlukan impor BBM seperti terlihat pada grafik-8 dibawah ini.
Sebagai gambaran apabila pada tahun 2013, impor minyak mentah dilakukan sekitar 17% dari produksi minyak bumi sebesar 0,88 Juta Bbl per hari yaitu sebesar 0,15 Juta Bbl per hari atau seharga USD 15,87 Juta,- per hari yang setara dengan Rp. 193 milyar,-per hari (nilai tukar 1 USD = Rp. 12.162,-).
Mengingat besarnya nilai pelaksanaan impor minyak mentah yang dilakukan oleh PT.Pertamina (Persero) untuk dicampur dengan sisa produksi minyak bumi Indonesia yang disebut dengan “crude oil cocktail” sebagai bahan baku proses kilang minyak, maka kedepan perlu dilakukan pengawasan lebih ketat bersama Kementrian BUMN dan Kementrian Keuangan berdasarkan suatu audit oleh “Bankable International Appropriate Authority Body”.
Sumber data: Grafik-8
Realisasi laporan RKAP dan laporan keuangan audited
PT. Prtamina (Persero) 2004-2013
BP Statistical Review of Energy 2014
Kilang Minyak dan Ilustrasi prosesnya
Volume impor BBM untuk subsidi energi meningkat.
Seperti terlihat pada grafik-9 dibawah ini, volume BBM untuk subsidi energi meningkat dimana pada tahun 2004 sebesar 38,75 juta kilo liter menjadi 46,83 juta kilo liter pada tahun 2013 atau 120% dari tahun 2004. Sedangkan volume impor premium dan solar untuk pelaksanaan kebijakan subsidi energi yang umumnya merupakan kebutuhan energi bagi lapisan rakyat menengah dan kaya yang selain hidup berkecukupan mungkin juga mempunyai usaha bisnis ataupun industri meningkat dengan cepat, yaitu dari volume premium sebesar 18,69 juta kilo liter dan solar sebesar 11,63 juta kilo liter pada tahun 2004 menjadi masing-masing mencapai 28,30 juta kilo liter dan 16,20 juta kilo liter pada tahun 2013 atau masing-masing meningkat sebesar 150% dan 140% dalam waktu hampir 10 tahun saja. Sedangkan volume minyak tanah sejak tahun 2005 menurun dari 11,25 juta kilo liter menjadi konstan pada volume 1,26 juta kilo liter karena upaya konservasi minyak tanah ke “liquified petroleum gas (LPG)” yang sebenarnya hal ini hanya merupakan suatu pengalihan subsidi saja, bukan merupakan suatu solusi.
Sumber data: Grafik-9
- Realisasi Laporan RKAP dan Laporan Keuangan Audited PT. Pertamina (Persero) 2004 - 2013
Biaya subsidi energi meroket naik. Akibat pelaksanaan kebijakan subsidi energi dan tidak efisiennya operasi kilang minyak dalam negeri, maka perkembangan biaya subsidi energi meroket naik secara cepat dimana pada tahun 2013 sudah mencapai Rp. 380 triliun,- atau 550% dari Rp. 69 triliun,- pada tahun 2004.
Pada tahun 2009 biaya subsidi energi sempat turun menjadi Rp. 94,6,- triliun dari Rp. 223 triliun,- di tahun 2008 kemudian meroket naik menjadi Rp. 380 triliun,-pada tahun 2013 dan diperkirakan akan terus meningkat menjadi sekitar Rp. 450 triliun,- pada akhir pemerintahan tahun 2014. Gambaran perkembangan biaya subsidi energi seperti pada grafik-10 dibawah ini.
Sumber data: Grafik 10
Realisasi APBN 2004-2012 dan APBN-P 2013, KemKEU
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2005-2012, Ditjen Anggaran KemKEU
Pemerintah selama hampir sepuluh tahun sejak tahun 2004 sampai saat ini pernah melakukan perubahan harga BBM sebanyak 7 kali terdiri dari 4 kali menaikkan harga BBM dan 3 kali menurunkan harga BBM dalam rangka mengurangi beban Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara (APBN) akibat biaya subsidi energi, namun akibat adanya tekanan politik, perubahan harga BBM dengan kisaran harga jual premium per liter sebesar Rp. 1.810 - Rp. 6.000,- dan harga jual solar per liter sebesar Rp. 1.650 - Rp. 5.500,- serta harga jual minyak tanah per liter sebesar Rp. 1.800 - Rp. 3.000,- tidak dapat dilakukan secara konsisten, sehingga biaya subsidi energi masih tetap menambah beban APBN. Kedepan perlu dilakukan pengkajian secara lebih khusus dan lebih mendalam tentang pelaksanaan kebijakan subsidi energi.
Kondisi Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral;
Setelah mengetahui dan membaca dampak negative dari pengelolaan migas baik dalam kegiatan hulu maupun kegiatan hilir seperti diatas, maka ada baiknya kita melihat kondisi dari instansi pemerintah yang berwenang dalam membuat peraturan dan kebijakan tentang pengelolaan migas Indonesia yaitu Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Sebagai institusi yang berwenang dalam menangani penglolaan migas Indonesia dan sebagai pembantu Presiden Republik Indonesia Kementrian ESDM mempunyai tugas pokok yaitu menangani semua permasalahan energi dan sumber daya mineral untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan berfungsi sebagai pembuat segala macam peraturan dan kebijakan pemerintah yang menjadi acuan pelaksanaan kontrol dan pengawasan pemerintah dalam pengelolaan migas Indonesia yang baik, berkeadilan dan dapat menarik minat investor dan kontraktor kerjasama di bidang migas untuk meningkatkan cadangan dan produksi migas sehingga penerimaan negara dari sektor migas semakin bertambah dan pembiayaan operasi migas semakin berkurang.
Namun dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya tersebut “jauh panggang dari api” bahkan belanja negara untuk Kementrian ESDM dalam perioda hampir sepuluh tahun sejak tahun 2004 sampai tahun 2013 meningkat enam kali lipat yaitu dari Rp. 3,1 triliun menjadi Rp. 18,8 triliun dan bila dibandingkan terhadap belanja negara untuk perlindungan sosial (seperti banjir, bencana alam dan kesehatan dan lain-lain) yang semula hanya satu setengah kali lipat dari belanja perlindungan sosial sebesar Rp. 2,1 triliun pada tahun 2004 meningkat menjadi dua setengah kali lipat dari belanja perlindungan sosial sebesar Rp. 7,4 triliun pada tahun 2013, seperti pada grafik-11.
Kondisi Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral;
Setelah mengetahui dan membaca dampak negative dari pengelolaan migas baik dalam kegiatan hulu maupun kegiatan hilir seperti diatas, maka ada baiknya kita melihat kondisi dari instansi pemerintah yang berwenang dalam membuat peraturan dan kebijakan tentang pengelolaan migas Indonesia yaitu Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Sebagai institusi yang berwenang dalam menangani penglolaan migas Indonesia dan sebagai pembantu Presiden Republik Indonesia Kementrian ESDM mempunyai tugas pokok yaitu menangani semua permasalahan energi dan sumber daya mineral untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan berfungsi sebagai pembuat segala macam peraturan dan kebijakan pemerintah yang menjadi acuan pelaksanaan kontrol dan pengawasan pemerintah dalam pengelolaan migas Indonesia yang baik, berkeadilan dan dapat menarik minat investor dan kontraktor kerjasama di bidang migas untuk meningkatkan cadangan dan produksi migas sehingga penerimaan negara dari sektor migas semakin bertambah dan pembiayaan operasi migas semakin berkurang.
Namun dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya tersebut “jauh panggang dari api” bahkan belanja negara untuk Kementrian ESDM dalam perioda hampir sepuluh tahun sejak tahun 2004 sampai tahun 2013 meningkat enam kali lipat yaitu dari Rp. 3,1 triliun menjadi Rp. 18,8 triliun dan bila dibandingkan terhadap belanja negara untuk perlindungan sosial (seperti banjir, bencana alam dan kesehatan dan lain-lain) yang semula hanya satu setengah kali lipat dari belanja perlindungan sosial sebesar Rp. 2,1 triliun pada tahun 2004 meningkat menjadi dua setengah kali lipat dari belanja perlindungan sosial sebesar Rp. 7,4 triliun pada tahun 2013, seperti pada grafik-11.
Sumber data :
DATA POKOK APBN 2013, KemKEU Grafik-11
DATA POKOK APBN 2013, KemKEU Grafik-11
Belanja Kementrian ESDM yang terdiri dari belanja rutin dan belanja pembangunan menunjukkan bahwa perkembangan belanja pembangunan/proyek semakin cepat kenaikannya dimana pada tahun 2004 hanya sebesar Rp.2,0 triliun meningkat dengan cepat menjadi Rp.14,85 triliun pada tahun 2013 atau tujuh setengah kali lipat dari tahun 2004. Hal ini memperlihatkan bahwa institusi pemerintah yang seharusnya hanya berkonsentrasi dalam melakukan kontrol dan pengawasan pada kepentingan publik namun kenyataannya melakukan pekerjaan yang sebetulnya tidak perlu dan terkesan diada-adakan dengan melakukan kegiatan melalui pembangunan/proyek yang penuh dengan rekayasa sehingga akhirnya menyebabkan organisasi semakin gemuk, tidak efisien dan tidak efektif lagi yang bertentangan dengan prinsip tata kelola administrasi pemerintahan yang baik atau disebut “good governance”.
Akhirnya penataan ulang pemerintahan atau “reinventing government” yang dibuat untuk membuat suatu pemeritah yang baik, berkeadilan, transparan, akuntabel, efisien dan efektif atau yang disebut “the best government is the least governance” tentang pengelolaan migas Indonesia tidak akan tercapai.
Akhirnya penataan ulang pemerintahan atau “reinventing government” yang dibuat untuk membuat suatu pemeritah yang baik, berkeadilan, transparan, akuntabel, efisien dan efektif atau yang disebut “the best government is the least governance” tentang pengelolaan migas Indonesia tidak akan tercapai.
(Bersambung)
Comments