Menyingkap tabir Pengelolaan Migas Indonesia Roes Aryawidjaya, Bagian 2


A. Kegiatan Hulu Migas
Ilustrasi kegiatan hulu migas
Dalam kegiatan hulu migas beberapa hal yang menjadi penyebab keterlambatan operasi dilapangan, antara lain adalah banyak dan rumitnya proses perijinan yang harus diperoleh para kontraktor kontrak kerjasama (KKS) migas, serta lamanya proses persetujuan rencana kerja dan anggaran perusahaan migas oleh pemerintah yang diwakili oleh SKK Migas. Selain dari pada itu, kurang tepatnya penerapan ketentuan perundangan dan campur tangan pemerintah yang terlalu jauh dalam kegiatan operasional di lapangan serta kurangnya kualitas pelayanan dalam penawaran wilayah kerja operasi migas melalui pelelangan, turut menyebabkan kenaikkan biaya operasi termasuk “cost recovery”.
Seperti yang terlihat pada grafik-3, terlihat bahwa cost recovery” cenderung terus meningkat dari Rp. 66,03 triliun,-pada tahun 2004 menjadi Rp. 164,06 triliun,- pada tahun 2013 atau 2,5 kali lipat dari nilai “cost recovery” pada tahun 2004.
Sumber data: Grafik-3
  • Laporan Tahunan BP Migas Tahun 2012
  • Data ICP Kem.ESDM 

Keadaan pengelolaan migas Indonesia yang tidak sehat dan pada posisi 
“high risk” tersebut mengakibatkan iklim investasi migas Indonesia menjadi kurang menarik baik bagi para investor maupun para kontraktor kontrak kerjasama. Hal ini pula yang membuat semua kegiatan operasi baik perusahaan migas maupun para kontraktor KKS migas hanya berkonsentrasi dan fokus kepada kegiatan eksploitasi pada lapangan-lapangan migas yang sudah ada atau “existing field”. Mereka tidak tertarik untuk melakukan upaya peningkatan cadangan ataupun produksi minyak bumi pada lapangan yang sedang mereka kelola dengan melakukan “enhanced oil recovery /EOR” dan juga untuk melakukan upaya pengembangan lapangan-lapangan migas marjinal.

Kondisi tersebut diatas juga berdampak negative pada beberapa faktor penting, antara lain:

  • Cadangan minyak bumi dan gas bumi menurun. 
Sebagaimana terlihat pada grafik-4 dibawah ini, penurunan cadangan gas bumi lebih cepat dari minyak bumi karena cadangan gas bumi dikuras lebih cepat untuk keperluan ekspor LNG yang bersifat kontrak jangka panjang yang menjanjikan sebagai salah satu penghasil devisa negara, selain itu pelaksanaan kebijakan minimalisasi gas yang dibakar atau “zero flare policy” belum berhasil dilakukan dengan baik.


Sebenarnya, kita masih memiliki potensi cadangan minyak bumi pada beberapa lapangan yang sudah ada (“Remaining reserve crude oil in place”) yaitu sekitar 60 milyar barrel. Tetapi karena kurangnya minat dari para kontraktor KKS dan perusahaan migas untuk melakukan kegiatan pengembangan lapangan migas secara “enhance oil recovery” (EOR), maka kita tidak dapat meningkatkan cadangan minyak mentah kita dari lapangan lapangan yang sudah ada tersebut. Padahal dengan mengkondisikan iklim pengelolaan migas yang baik, akan mendorong para kontraktor KKS dan perusahaan migas untuk melakukan “enhanced oil recovery (EOR)” yang akan meningkatkan cadangan minyak bumi kita sekurang-kurangnya sebesar 50% dari potensi cadangan yang ada atau sebesar 30 milyard barrel.
Selain dari pada itu melalui suatu iklim pengelolaan migas yang baik, berkeadilan, transparan, akuntabel dan aplikabel akan mendorong pula usaha eksplorasi bersifat ekstensifikasi untuk menemukan lapangan lapangan migas baru baik dilaut dalam maupun didarat/daerah
terpencil (“remote area”) yang mempunyai potensi
sumber daya migas 58 milyar setara barrel minyak atau “barrel oil equivalent”.
Berdasarkan asumsi tidak ada tambahan cadangan minyak dan gas bumi pada tahun 2013 yang masing-masing sebesar 3,7 milyar barrel dan 13,06 triliun standar kaki kubik (TSCF) maka dengan tingkat produksi minyak dan gas bumi masing-masing sebesar 0,88 juta barrel per hari dan 1,62 milyar kaki kubik per hari (BSCFD)
diperkiran waktu produksi minyak dan gas bumi masing-masing hanya tinggal 11,5 tahun untuk minyak bumi dan 22 tahun untuk gas bumi.
  • Produksi minyak bumi semakin menurun.
Seperti terlihat pada grafik-5 dibawah ini, akibat kondisi kegiatan operasional kontraktor KKS dan perusahaan migas terkonsentrasi pada lapangan-lapangan migas yang sudah ada, bahkan upaya memproduksikan gas bumi dari lapangan migas marjinal untuk sumber energi bagi ketenagalistrikan di beberapa daerah masih terkendala dengan rumitnya proses perijinan dari SKK Migas. Sedangkan produksi gas bumi dari lapangan-lapangan gas bumi yang besar digenjot untuk memenuhi kebutuhan ekspor LNG berdasarkan kontrak jangka panjang. Produksi minyak dan gas bumi berkaitan erat dengan besaran penerimaan negara dari sektor migas yang pada tahun 2004 sebesar Rp. 122 triliun,- dan pada tahun 2013 mencapai Rp. 326,6 triliun,-.
Sumberdata:

Grafik-5
  • BP Statistical review of world energy 2014

  • Perkembangan harga minyak mentah Indonesia atau “Indonesia Crude Price (ICP)” kurang kompetitif.  
Seperti terlihat dalam grafik-6 dibawah ini, menunjukkan “ICP” sebentar berada dibawah dan sebentar berada diatas harga patokan minyak mentah dunia untuk kelompok minyak mentah ringan atau “light crude oil” (dengan klasifikasi derajat API diatas 33 dan kadar sulfur lebih kecil dari 2%) dan selalu berada diatas harga minyak mentah “Arabian medium crude oil” atau AMC sehingga menyebabkan penjualan minyak mentah bagian pemerintah kurang menarik atau mengalami beberapa hambatan dan dapat menimbulkan peluang adanya praktek korupsi.

Selain itu perhitungan “ICP” berdasarkan harga rata-rata dari sekeranjang jenis minyak mentah Indonesia yang sulit untuk diketahui spesifikasi jenis minyak mentahnya apakah termasuk minyak mentah ringan atau berat, kemudian “ICP” tersebut ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama antara pemerintah selaku eksekutif dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku legislative, dengan demikian “ICP” tidak ditetapkan secara professional, tetapi merupakan suatu ketetapan politik yang menyebabkan nilai “ICP” tidak kompetitif.

Pada umumnya seluruh negara produsen minyak mentah dunia memilih suatu harga minyak mentah sebagai tolok ukur, berdasarkan pada satu jenis minyak mentah dari suat cadangan yang besar. Demikian pula sebetulnya Indonesia sudah memiliki harga minyak mentah sebagai tolok ukur, untuk spesifikasi jenis minyak mentah ringan, yaitu harga minyak mentah Minas yang telah diakui secara internasional sehingga seharusnya tidak perlu ditetapkan nilai “ICP” lagi. Namun karena sekarang cadangan minyak mentah Minas sudah jauh berkurang, perlu ditetapkan harga minyak mentah dari cadangan lain yang besar, yang dapat mewakili harga minyak mentah Indonesia di dunia internasional.

  • Iklim investasi menjadi kurang menarik bagi investor ataupun kontraktor KKS dan perusahaan migas disebabkan, antara lain:
Penawaran wilayah kerja tidak sederhana dan hanya menggunakan satu jenis kontrak saja yaitu kontrak bagi hasil atau “production sharing contract” serta
status wilyah kerja belum siap untuk dilakukan kegiatan operasi atau “unclean and unclear working area” .
Adanya proses perijinan yang semakin banyak jenisnya dan terdapat pungutan-pungutan tambahan bersifat sebagai upeti yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi atau “high cost economic” dan harus dipenuhi oleh perusahaan migas, sedangkan pihak perusahaan migas multinasional melarang adanya pembiayaan untuk upeti sehingga proses perijinan menjadi lama, contohnya antara lain persetujuan dari SKK Migas tentang penjualan gas bumi dari lapangan-lapangan gas bumi marjinal diberbagai daerah oleh kontraktor migas.
Adanya campur tangan atau intervensi pemerintah Indonesia melalui SKK Migas (dahulunya BP Migas) yang terlalu jauh dalam operasional lapangan, membuat proses keputusan menjadi lama sehingga terjadi keterlambatan dalam kegiatan operasi migas dilapangan oleh kontraktor dan perusahaan, contohnya rapat tentang evaluasi rencana kerja dan anggaran perusahaan migas yang dilakukan setiap tiga bulan atau empat kali dalam setahun.
Adanya tumpang tindih dalam pelaksanaan audit keuangan pada kontraktor migas yang memakan waktu dan menambah beban biaya bagi kontraktor migas baik yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan Pemerintah (BPKP) maupun SKK Migas walaupun kontraktor migas telah melaksanakan audit keuangan oleh “Bankable International Appropriate Authority Body” antara lain Erns and Young, PWc dll.
Adanya pemberlakuan pajak pada tahap ekplorasi migas dimana tingkat kepastian mendapatkan minyak mentah atau gas bumi oleh perusahaan migas atau kontraktor migas masih belum pasti.
Adanya pemberlakuan prinsip “cabotage” dimana kapal yang beroperasi didalam perairan Indonesia diwajibkan berbendera Indonesia yang harus mendapat ijin lagi dari Kementrian Perhubungan, sehingga menambah beban biaya operasional dan mengganggu operasi kegiatan migas dilaut atau “offshore” .

Comments